Thursday, August 20, 2015

Dari Suatu Masa Pada Suatu Ketika 17 Agustus

Ber-17-an di Tapanuli, Dari Suatu Masa Pada Suatu Ketika
17 Agustus 2012 pukul 2:56

Pagi tadi saya bangkit dari tidur dengan penuh semangat. Begitu terjaga, langsung ingat hari ini 17 Agustus. Ingin rasanya ber-17-an di kawasan terpencil Simalungun, di daerah terisolir. Melihat dan mencermati anak negerinya merayakan HUT Proklamasi kita. Saya ajak Ucha Saragih teman saya yang tinggal dekat Simpang Bah Jambi. Bersama kakaknya, Incha, kami berangkat. Di kawasan-kawasan terpencil barangkali kami akan bisa menyaksikan berbagai ragam perlombaan yang dilakukan anak negeri. Panjat pinang, lari dalam goni, main bola pakai sarung, atau lomba makan kerupuk. Boleh jadi juga barangkali lomba lari bawa guli.
Tapi masih di rumahnya pun, Ucha bilang karena bersamaan dengan Ramadhan kegiatan itu akan tidak dilakukan anak negeri.

Ini sudah tahun ketiga kata anak Fakultas Hukum Universitas Simalungun itu, 17 Agustus bersamaan dengan masa puasa. Dalam kondisi puasa, anak negeri tak terlalu banyak melakukan kegiatan untuk merayakan 17-an. Karenanya, kami mengurungkan ke kawasan terisolir. Kami pilih Keramat Kubah di dekat Perdagangan sebagai obyek perjalanan tadi siang sampai sore. Padahal, sepanjang perjalanan saya teringat melulu pada anak negeri Tapanuli di masa lalu ketika merayakan HUT Proklamasi. Ingatan itu terus membayang hingga senja saya sampai di rumah saya di Tepian Bah Bolon, Siantar Estate, dan paparan ini pun saya tuliskan. Untuk Anda. Ya, untuk Anda tentunya.
Akhir 1983, saya bertugas di Tapanuli Utara yang waktu itu masih meliputi Tapanuli Utara sekarang, Toba Samosir, Humbang Hasundutan serta Samosir. Sejak 1984 hingga 1986 , saya selalu berada di kawasan-kawasan terpencil saat merayakan 17-an bersama anak negerinya. Sekarang, semuanya menjadi kenangan yang indah menawan. Masa lalu yang indah meski cuma sekali-sekali saja enak dikenang. Sedang hidup yang sesungguhnya adalah hari ini.
Waktu itu memang, keadaan hampir semua sektor belum seperti sekarang. PLN (Perusahaan Listrik Negara) belum menjelajah membelah bukit dan lembah seperti sekarang. Sektor perhubungan juga masih dalam keadaan parah. Ruas-ruas jalan antar desa bahkan antar kecamatan belum sebaik sekarang ini. Kalau pun ada, masih diistilahkan sebagai jalan tikus. Menuruni sekaligus mendaki bikit dan lembah. Selain, kendaraan belum seperti sekarang banyaknya. Kalau pun ada, sudah barang tentu tak bisa digunakan. Manalah bisa sepeda motor misalnya digunakan melintasi jalan tikus. Konon pula mobil.
Pada perayaan 17-an 1986, saya datang ke Bonan Dolok pada 15 Agustus. Bonan Dolok, waktu itu masih merupakan salah satu desa di Kecamatan Onanganjang di Tapanuli Utara. Sekarang, sudah menjadi pusat pemerintahan (ibukota) Kecamatan Sijamapolang, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Ada dua arah jalan yang dapat menghantarkan siapa saja ke Bonan Dolok waktu itu. Pertama, dari Simpang Empat kota Doloksanggul mengiri menuju Desa Purba Dolok terus ke Desa Siborboron. Badan jalan berbatu-batu yang Orang Belanda bilang onderlaag. Menurun, mendaki, meliuk-liuk membelah bukit sekitar 17 atau 18 kilometer dari Doloksanggul. Sepanjang perjalanan itu, cuma di Siborboron saja ada rumah berjajar. Selainnnya cuma satu dua di beberapa lokasi. Yang banyak terlihat cuma jurang yang dalam di sisi kiri jalan menuju Bonan Dolok, sedang di sisi kanannya pinggang bukit yang terjal. Kalau pun sedikit ada hempangan tanah datar, masih kosong melompong rindu pada jamahan tangan manusia.
Cara kedua adalah melalui Onanganjang arah ke Pakkat. Setelah melewati Pekan atau Balairung Onanganjang, mengiri sekaligus menurun. Meliuk-liuk juga di celah bukit yang terjal di sebelah kiri jalan, sementara di sisi kanan jalan menganga jurang yang dalam. Kalau saja saya jatuh kedalam jurang itu, tentu saja tulisan ini tak akan pernah Anda baca. Barangkali saya sudah innalillahiwainnalillahirojiun.
Dari Tarutung saya mengendarai sepeda motor Honda GL 110-n, kendaraan dinas PT Sinar Indonesia Baru yang diberikan untuk saya pakai ketika bertugas di Tapanuli Utara. Bukan mau mempromosikan Honda, tapi kendaraan itu cukup tangguh dan perkasa untuk daerah-daerah terpencil. Mesinnya pun tidak rakus BBM, juga tidak rewel.
Di Bonan Dolok 16 Agustus siang saya bergabung dengan rombongan anak negeri yang akan berangkat ke Onanganjang, sebagai ibukota kecamatan. Waktu itu, camatnya BMT Simanjuntak yang sekarang sudah almarhum. Jarak Bonan Dolok - Onanganjang 18 kilometer. Sepanjang jalan umumnya hutan melulu. Betul, ada sesekali permukiman anak negeri dilewati yang terkesan sejuk dan damai, seperti di Sihikikit. Belakangan saya mendapat tahu, kampungnya RE Nainggolan yang pernah menjadi Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Utara ada di kawasan ini. Rombongan berjalan kaki dengan gagah perwira. Biar orang tua, remaja sampai anak balita ada dalam rombongan. Semua ceria karena malamnya akan menyaksikan taptu (pawai obor) di Onanganjang, ibukota kecamatan.
Di Balairung Onanganjang yang jorok dan pengap kami berkumpul berselimutkan embun. Tempat itu dijadikan sebagai posko anak negeri yang datang malam itu dari berbagai penjuru. Ada yang datang dari Langge, Parbotihan, bahkan ada yang datang dari Batu Nagodang di kaki Dolok Pinapan, juga dari Sibuluan. Semua menyatu di balairung setelah usai menyaksikan taptu pelajar dan orang-orang pemerintahan. Wajah-wajah mereka terkesan gembira dan ceria menyaksikan taptu tadi. Tak ada kesan letih meski pun sebelumnya sudah melakukan perjalanan panjang berkilokilometer. Merayakan 17-an waktu itu, merupakan kebahagiaan anak negeri tersendiri. Sebuah kemerdekaan dianggap sebagai suatu berkah yang yang berkelimpahan.
Malam pun merangkak dengan damainya, hampir tak terasa subuh sudah menjelang. Ada yang tidur nyenyak beralaskan lantai balairung yang sudah pecah-pecah. Ada memang kelompok yang tak tidur sama sekali. Mereka menyalakan api unggun sambil berbincang ria. Sekelompok anak muda memetik gitar menyanyikan lagu-lagu cinta sampai lagu-lagu perjuangan. Sesekali terdengar suara ngakak. Tak ada yang mengeluh apa lagi menghujan siapa saja. Camat, Danramil serta Kapolsek, waktu itu dianggap sebagai Wakil Tuhan. Guru saja pun, waktu itu masih sangat dihormati. Pada masa itu, memang, semua jelas siapa mengerjakan apa.
Ketika mentari bersinar, anak negeri banyak yang menggunakan mandar. Onanganjang memang dingin mencekam. Dan jaket seperti sekarang nyaris belum ada dipakai. Harganya mahal dan tak terjangkau anak negeri kebanyakan. Sekarang, menyusul maraknya 'burjer' (buruk-buruk Jerman) dimana-mana, biar jaket tebal atau selimut sudah banyak digunakan. Harganya pun paling-paling sebungkus dua bungkus keretek.
Satu-satu anak negeri berkumpul di tanah lapang di dekat kantor camat. Panitia HUT Proklamasi Tingkat Kecamatan pun sibuk mengurusui segala sesuatu dan mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan peringatan 17-an. Ketika camat dan rombongan tiba di tempat upacara, semua menyambut dengan gegap gempita. Sikap dan hormat ditunjukkan anak negeri kepada pemimpinnya. Mereka berdiri tegap dan gagah menyambut kedatangan para pemimpinnya. Waktu itu memang, pemimpin betul-betul nyata dan fakta memiliki pengikut. Ada nyata dan faktual pemimpin dan ada nyata serta faktual yang dipimpin. Tidak seperti sekarang, sudah sulit sekali membedakan antara pemimpin dengan yang dipimpin.

Upacara kenegaraan berlangsung dengan penuh hikmat. Pidato camat didengar dan disimak dengan tekun. Saat camat berpidato, keadaan sekitar lapangan upacara senyap. Jarum yang jatuh pun, akan kedengaran. Sekarang, saya membandingkan ketika seorang bupati pun berpidato, stafnya saja asyik ngalor-ngidul entah membicarakan apa. Boleh jadi saat sang bupati pidato, orang banyak memaki-makinya bahkan menghujat. Dulu memang, anak negeri tak pernah tahu kalau bupatinya korupsi dan jahat. Sekarang, anak-anak saja dengan enteng akan mengatakan : Bupati kami korup. Jahat.

Usai upacara kenegaraan, dilanjutkan dengan pagelaran atraksi dari anak-anak sekolah. Ada 'tumba' yang sarat pesan-pesan mengajak semua pihak untuk membangun dirinya, membangun kampungnya. Gerak dan langkah mereka serempak dan seirama mengikuti alunan musik tradisional yang dipalu secara langsung. Tidak menggunakan alat musik modren karena memang tidak ada. Anak negeri pun ikut 'martumba' di tengah lapangan. Semua bersuka ria merayakan Peringat HUT Proklamasi Republik Indonesia.
Lalu ada pembacaan puisi. Ada tablo atau fragmen kelas kampung. Ada semacam drama atau sendra tari dari anak-anak SMA Negeri yang waktu itu masih baru opersional. Digambarkan dalam sendra tari itu bagaimana kemerdekaan direbut dan dipertahankan dengan harta bahkan dengan nyawa oleh para pendahulu. Ada tragedi pilu, dan beberapa anak negeri sampai meneteskan air mata. Kemerdekaan kita, memang tidak turun dari langit. Kemerdekaan direbut dan dipertahankan dengan segala yang ada. Dan ketika lagu 'Butet' mengalun secara manual dari mulut seorang putri anak SMA, lapangan upacara pun bagai banjir air mata.

Acara masih dilanjutkan dengan ragam perlombaan antar desa. Tarik tambang merupakan acara yang sangat menarik. Kerja sama serta kesatupaduan sangat dibutuhkan. Tidak cuma mengandalkan kekuatan semata. Warga desa yang kuat saja kalau tak serempak dan seirama menarik tambang tak akan bisa mengalahkan warga desa lain yang lebih lemah. Ada lomba makan kerupuk yang harus menggunakan kiat-kiat tertentu. Lomba lari bawa guli dalam sendok di mulut saja harus dilakukan dengan kiat-kiat tertentu. Tidak bisa mengandalkan kemampuan berlari yang tangguh.

Senja hampir diusir malam ketika anak negeri pulang ke desa masing-masing. Ada wajah-wajah puas dan ceria tercermin. Langkah mereka tetap tegap dan gagah untuk pulang dengan kembali berjalan kaki belasan kilometer. Tak ada kecewa, tak ada wajah gelisah resah apalagi mendesah. Semua berubah menjadi cerah. Dan esoknya tanah kembali diolah dan dijamah agar membawa berkah.

Sekarang, saya merenung dalam-dalam. Perayaan HUT Proklamasi tak lagi dilakukan dengan sepenuh hati. Mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih saja tak lagi dilakukan dengan hikmat di halaman rumah masing-masing. Sampai-sampai sekelompok Pemuda Pancasila di Bengkulu menurut Metro TV yang saya saksikan tadi sore melakukan sweping dan sedikit ribut dengan warga. Meski pun, seperti kata Ucha kawan saya, peringatan HUT Proklamasi tahun ini yang kurang semarak boleh jadi dipengaruhi bualan puasa.
Saya tak tahu apa persisnya mengapa perayaan HUT Proklamasi belakangan tak lagi dirayakan di kampung-kampung dengan semeriah pada masa lalu, pada suatu ketika. Boleh jadi karena listrik sudah ada di nyaris semua kawasan, dan anak negeri sudah bisa menyaksikan apa saja lewat layar kaca di rumah masing-masing. Upacara HUT Proklamasi di Istana Negera di Jakarta saja pun sudah bisa disaksikan secara langsung oleh anak negeri. Mereka juga tahu persis, untuk merayakan HUT Proklamasi pihak Istana Kepresidenan mengeluarkan uang sebesar Rp 7, 8 miliar.

Keterbukaan informasi juga barangkali mempengaruhi kenapa perayaan HUT Proklamasi tak lagi dirayakan anak negeri dengan gegap gempita. Mereka tahu sekali banyaknya elite negeri ini yang jahat dan korup, bahkan tak memiliki itikad baik saat menjadi pemimpin. Kalau pidato di depan publik, ngomongnya merdu sekali, padahal anak negeri tahu suara para elite itu sebenarnya paraunya bukan main. Orang-orang di pemerintahan, tak banyak lagi yang pantas untuk dijadikann teladan. Mereka yang disebut pemimpin, acapkali mengekspoloitasi kemiskinan rakyat yang dipimpimnya untuk memperkaya dirinya sampai anak cucu tujuh turunan.

Listrik diiringi siaran televisi serta surat kabar, ternyata sangat mempengaruhi banyak anak negeri. Sistem informasi yang canggih zaman ini memang, membuat semuanya menjadi gampang. Dunia pun, memang menjadi benar-benar cuma selebar daun kelor. Apa yang diketahui orang Jakarta sekarang, juga diketahui orang Parlilitan di kawasan Sionom Hudon sana dalam waktu bersamaan. Belum lagi pengaruh internet yang justru didukung oleh pemerintah penyebaran serta jaringannya hingga ke pelosok-pelosok.

Makanya, sekiranya saya menjadi elite politik atau elite pemerintahan, saya harus sadar sekali bahwa anak negeri di mana pun di bagian tanah air ini, tak lagi seperti dulu. Mereka tak lagi nrimo, pasrah, lugu dan polos. Soal skandal Bank Century saja sampai dugaan korupsi di Wisma Atlet serta Kasus Hambalang, mereka sudah tahu koq. Termasuk tentang hakim tipikor di Semarang yang sore tadi ditangkap KPK karena menerima suap.
Begitu pun, selamat HUT Proklamasi RI ke 67.
Dirgahayu Republik Indonesia !

Opera Batak Akan Pentas Lagi di Frankfurt Book Fair Jerman

Menjelang Frankfurt Book Fair 2015, Lembaga Jerman Indonesia (DIG) kembali fasilitasi Tim Opera Batak PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) untuk datang ke Jerman. 

Dua tahun lalu Tim Opera Batak PLOt juga telah diundang DIG dalam rangka “Batak Tag”, yang dilaksanakan di Rautenstrauch-Joest-Museum kota Koeln, Jerman pada 2 November 2013. Meski Frankfurt Book Fair akan berlangsung pada 14 – 18 Oktober di kota Fankfurt Am Main, Tim Opera Batak PLOt akan berangkat 17 September sampai 6 Oktober nanti dengan membawa pertunjukan “Perempuan Di Pinggir Danau”, karya dan sutradara Lena Simanjuntak. 

Karya naskah Opera Batak ini sudah diterbitkan dalam bentuk buku dalam empat bahasa (Indonesia, Jerman, Inggris, Batak Toba) dan aksara Batak. “Perempuan Di Pinggir Danau” merupakan cerita yang mengangkat latar Danau Toba dalam mitologi, geologi, dan ekologi

Karya ini sudah dipentaskan di beberapa kota di Indonesia sejak 2013 dan untuk ketiga kalinya akan dipentaskan ulang di Universitas Negeri Medan (Unimed) sebelum ke Jerman lagi nanti. Pentas ulang berlangsung di Gedung Auditorium Unimed pada 2 dan 3 September 2015,dengan pelaksana kerjasama Fakultas Ilmu Sejarah Unimed.
 

Tim Opera Batak PLOt yang akan berangkat lagi ke Jerman berjumlah 15 orang, lebih banyak dari tim yang berangkat 2013. Lebih awal keberangkatan dari pelaksanaan Frankfurt Book Fair 2015, Tim Opera Batak PLOt tidak sekedar promosi melalui pertunjukan. Namun akan mengadakan workshop tentang elemen-elemen Opera Batak di sejumlah tempat di Jerman. 

Dalam surat resmi DIG, “Perempuan Di Pinggir Danau” secara intrinsik telah mendukung Geopark Danau Toba untuk masuk dalam jaringan Internasional. Sedangkan Opera Batak mengusung dukungan pula atas tortor, tarian Batak yang belum dilanjutkan pengajuannya ke Unesco setelah ramai dibicarakan tiga tahun lalu sebelum isu geopark. 

Karena itu workshop di beberapa tempat di Jerman diagendakan selain pertunjukan. Dari 15 orang yang akan berangkat enam orang penari dan koreografer ada dalam tim serta empat musisi dan penyanyi yang berlatar etnomusikologi. Sedangkan tiga pemain lakon direposisi dari sebelumnya, terutama pemeran Samosir, Putri Ikan, dan Toba. Kapasitas personal dalam tim juga semakin proporsional di bidangnya, di samping tambahan kapasitas lainnya untuk memenuhi peran ganda yang distandarkan.

Pentas ulang di Unimed sebelum berangkat lagi ke Jerman merupakan permintaan. Namun hal itu sangat penting untuk memberikan peluang dan dukungan pada tim. Sampai saat ini partisipasi pemerintah untuk keberangkatan kembali ke Jerman tidak ada sama sekali. Sementara Tim Opera Batak PLOt membawa kandungan misi pemerintah dan negara tentang Danau Toba dan warisan budaya. 


Semoga pada pentas ulang di Unimed pada 2 dan 3 September nanti membuka dorongan banyak pihak, meskipun para penonton dibatasi pada kalangan sponsor, mahasiswa, dan pelajar. Sehari sebelum pertunjukan di Unimed nanti akan diadakan Seminar tentang AWK Samosir, Tokoh Opera Batak Nyaris Dilupakan dengan para pembicara, antara lain: Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd (Rektor Unimed), Lena Simanjuntak (DIG, Koeln-Jerman), Thompson Hs (Direktur PLOt), Makmur Samosir, dan Dra. Flores Tanjung (Moderator). 

Untuk mengikuti acara seminar dapat menghubungi 08126433439 dan 081397701060. 

Sedangkan untuk pertunjukan dapat menghubungi 081262057266 (Andre) – 082364271891 (Surya) - 087868730381 (Benny) - 085297120895 – 085296481439. 

Untuk melihat informasi pertunjukan di Jerman dapat melalui (Relis Pers).
Opera Batak | Begegnung zwischen Tradition und Moderne

Horas! „Horas!“ ist die Grußformel der Batak im Norden Sumatras und weltweit. Die Opera Batak ist eine traditionelle Theaterform der Batak aus Nordsumatra. Sie war im letzten Jahrhundert für gut sechzig Jahre ein lebendiger und lebhafter Ausdruck von Volkstheater und drohte in Vergessenheit zu gerat…

CSR & Bina Lingkungan PT INALUM (persero) 2015 BANTUAN BEASISWA Humbang Hasundutan

CSR & Bina Lingkungan PT INALUM(persero) 2015 BANTUAN BEASISWA. Utk sekolah SD.SMP. SMA.

Dimana bantuan tersebut di cairkan Kantor UPT PENDIDIKAN KEC POLLUNG Melalui BANK SUMUT DLK SANGGUL. Sebagai Tim dari Bank tersebut INRIKA PANJAITAN sebagai pinpinan seksi pelayanan nasabah.yang berhak menerima Bantuan untuk siswa/i sekolah SD sebanyak 350 org sekabupaten humbahas dgn nilai RP 350.000.

Tahap pertama. Untuk SMP sebanyak 150 org Rp 600.000.
Untuk  sekolah SMA sebanyak 100 org masing masing menerima Rp800.000.
Tahap kedua pencairan dana tersebut akan dibayarkan di Bulan DESEMBER nanti.
Dimana data dari sekolah SD . SMP. SMA. Yang berhak menerima dari kalangan yang tidak mampu dan berprestasi. Buat PT INALUM Trimakasih atas bantuannya. Semoga siswa/i yg mendapat bantuan tersebut belajarlah lebih baik.

Bupati Maddin Sihombing Manortor di Acara Peresmian Jalan Se Kab Humbahas

Dalam Rangka Peresmian Jalan  Se - Kabupaten Humbahas Thn 2015
Bupati Humbang Hasundutan Bpk Maddin Sihombing yang selalu semangat walau diakhir masa Jabatannya sekalipun.
Bersama Wkl.Bupati Bpk Marganti Simanullang sedang Manortor di
lapangan/Depan Puskesmas kec.Paranginan