Ber-17-an di Tapanuli, Dari Suatu Masa Pada Suatu Ketika
17 Agustus 2012 pukul 2:56
Pagi tadi saya bangkit dari tidur dengan penuh semangat. Begitu
terjaga, langsung ingat hari ini 17 Agustus. Ingin rasanya ber-17-an di
kawasan terpencil Simalungun, di daerah terisolir. Melihat dan
mencermati anak negerinya merayakan HUT Proklamasi kita. Saya ajak Ucha
Saragih teman saya yang tinggal dekat Simpang Bah Jambi. Bersama
kakaknya, Incha, kami berangkat. Di kawasan-kawasan terpencil barangkali
kami akan bisa menyaksikan berbagai ragam perlombaan yang dilakukan
anak negeri. Panjat pinang, lari dalam goni, main bola pakai sarung,
atau lomba makan kerupuk. Boleh jadi juga barangkali lomba lari bawa
guli.
Tapi masih di rumahnya pun, Ucha bilang karena bersamaan
dengan Ramadhan kegiatan itu akan tidak dilakukan anak negeri.
Ini sudah
tahun ketiga kata anak Fakultas Hukum Universitas Simalungun itu, 17
Agustus bersamaan dengan masa puasa. Dalam kondisi puasa, anak negeri
tak terlalu banyak melakukan kegiatan untuk merayakan 17-an. Karenanya,
kami mengurungkan ke kawasan terisolir. Kami pilih Keramat Kubah di
dekat Perdagangan sebagai obyek perjalanan tadi siang sampai sore.
Padahal, sepanjang perjalanan saya teringat melulu pada anak negeri
Tapanuli di masa lalu ketika merayakan HUT Proklamasi. Ingatan itu terus
membayang hingga senja saya sampai di rumah saya di Tepian Bah Bolon,
Siantar Estate, dan paparan ini pun saya tuliskan. Untuk Anda. Ya, untuk
Anda tentunya.
Akhir 1983, saya bertugas di Tapanuli Utara yang
waktu itu masih meliputi Tapanuli Utara sekarang, Toba Samosir, Humbang
Hasundutan serta Samosir. Sejak 1984 hingga 1986 , saya selalu berada di
kawasan-kawasan terpencil saat merayakan 17-an bersama anak negerinya.
Sekarang, semuanya menjadi kenangan yang indah menawan. Masa lalu yang
indah meski cuma sekali-sekali saja enak dikenang. Sedang hidup yang
sesungguhnya adalah hari ini.
Waktu itu memang, keadaan hampir
semua sektor belum seperti sekarang. PLN (Perusahaan Listrik Negara)
belum menjelajah membelah bukit dan lembah seperti sekarang. Sektor
perhubungan juga masih dalam keadaan parah. Ruas-ruas jalan antar desa
bahkan antar kecamatan belum sebaik sekarang ini. Kalau pun ada, masih
diistilahkan sebagai jalan tikus. Menuruni sekaligus mendaki bikit dan
lembah. Selain, kendaraan belum seperti sekarang banyaknya. Kalau pun
ada, sudah barang tentu tak bisa digunakan. Manalah bisa sepeda motor
misalnya digunakan melintasi jalan tikus. Konon pula mobil.
Pada
perayaan 17-an 1986, saya datang ke Bonan Dolok pada 15 Agustus. Bonan
Dolok, waktu itu masih merupakan salah satu desa di Kecamatan
Onanganjang di Tapanuli Utara. Sekarang, sudah menjadi pusat
pemerintahan (ibukota) Kecamatan Sijamapolang, Kabupaten Humbang
Hasundutan.
Ada dua arah jalan yang dapat menghantarkan siapa
saja ke Bonan Dolok waktu itu. Pertama, dari Simpang Empat kota
Doloksanggul mengiri menuju Desa Purba Dolok terus ke Desa Siborboron.
Badan jalan berbatu-batu yang Orang Belanda bilang onderlaag. Menurun,
mendaki, meliuk-liuk membelah bukit sekitar 17 atau 18 kilometer dari
Doloksanggul. Sepanjang perjalanan itu, cuma di Siborboron saja ada
rumah berjajar. Selainnnya cuma satu dua di beberapa lokasi. Yang banyak
terlihat cuma jurang yang dalam di sisi kiri jalan menuju Bonan Dolok,
sedang di sisi kanannya pinggang bukit yang terjal. Kalau pun sedikit
ada hempangan tanah datar, masih kosong melompong rindu pada jamahan
tangan manusia.
Cara kedua adalah melalui Onanganjang arah ke
Pakkat. Setelah melewati Pekan atau Balairung Onanganjang, mengiri
sekaligus menurun. Meliuk-liuk juga di celah bukit yang terjal di
sebelah kiri jalan, sementara di sisi kanan jalan menganga jurang yang
dalam. Kalau saja saya jatuh kedalam jurang itu, tentu saja tulisan ini
tak akan pernah Anda baca. Barangkali saya sudah
innalillahiwainnalillahirojiun.
Dari Tarutung saya mengendarai
sepeda motor Honda GL 110-n, kendaraan dinas PT Sinar Indonesia Baru
yang diberikan untuk saya pakai ketika bertugas di Tapanuli Utara. Bukan
mau mempromosikan Honda, tapi kendaraan itu cukup tangguh dan perkasa
untuk daerah-daerah terpencil. Mesinnya pun tidak rakus BBM, juga tidak
rewel.
Di Bonan Dolok 16 Agustus siang saya bergabung dengan
rombongan anak negeri yang akan berangkat ke Onanganjang, sebagai
ibukota kecamatan. Waktu itu, camatnya BMT Simanjuntak yang sekarang
sudah almarhum. Jarak Bonan Dolok - Onanganjang 18 kilometer. Sepanjang
jalan umumnya hutan melulu. Betul, ada sesekali permukiman anak negeri
dilewati yang terkesan sejuk dan damai, seperti di Sihikikit. Belakangan
saya mendapat tahu, kampungnya RE Nainggolan yang pernah menjadi
Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Utara ada di kawasan ini. Rombongan
berjalan kaki dengan gagah perwira. Biar orang tua, remaja sampai anak
balita ada dalam rombongan. Semua ceria karena malamnya akan menyaksikan
taptu (pawai obor) di Onanganjang, ibukota kecamatan.
Di
Balairung Onanganjang yang jorok dan pengap kami berkumpul berselimutkan
embun. Tempat itu dijadikan sebagai posko anak negeri yang datang malam
itu dari berbagai penjuru. Ada yang datang dari Langge, Parbotihan,
bahkan ada yang datang dari Batu Nagodang di kaki Dolok Pinapan, juga
dari Sibuluan. Semua menyatu di balairung setelah usai menyaksikan taptu
pelajar dan orang-orang pemerintahan. Wajah-wajah mereka terkesan
gembira dan ceria menyaksikan taptu tadi. Tak ada kesan letih meski pun
sebelumnya sudah melakukan perjalanan panjang berkilokilometer.
Merayakan 17-an waktu itu, merupakan kebahagiaan anak negeri tersendiri.
Sebuah kemerdekaan dianggap sebagai suatu berkah yang yang
berkelimpahan.
Malam pun merangkak dengan damainya, hampir tak
terasa subuh sudah menjelang. Ada yang tidur nyenyak beralaskan lantai
balairung yang sudah pecah-pecah. Ada memang kelompok yang tak tidur
sama sekali. Mereka menyalakan api unggun sambil berbincang ria.
Sekelompok anak muda memetik gitar menyanyikan lagu-lagu cinta sampai
lagu-lagu perjuangan. Sesekali terdengar suara ngakak. Tak ada yang
mengeluh apa lagi menghujan siapa saja. Camat, Danramil serta Kapolsek,
waktu itu dianggap sebagai Wakil Tuhan. Guru saja pun, waktu itu masih
sangat dihormati. Pada masa itu, memang, semua jelas siapa mengerjakan
apa.
Ketika mentari bersinar, anak negeri banyak yang menggunakan
mandar. Onanganjang memang dingin mencekam. Dan jaket seperti sekarang
nyaris belum ada dipakai. Harganya mahal dan tak terjangkau anak negeri
kebanyakan. Sekarang, menyusul maraknya 'burjer' (buruk-buruk Jerman)
dimana-mana, biar jaket tebal atau selimut sudah banyak digunakan.
Harganya pun paling-paling sebungkus dua bungkus keretek.
Satu-satu anak negeri berkumpul di tanah lapang di dekat kantor camat.
Panitia HUT Proklamasi Tingkat Kecamatan pun sibuk mengurusui segala
sesuatu dan mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan peringatan
17-an. Ketika camat dan rombongan tiba di tempat upacara, semua
menyambut dengan gegap gempita. Sikap dan hormat ditunjukkan anak negeri
kepada pemimpinnya. Mereka berdiri tegap dan gagah menyambut kedatangan
para pemimpinnya. Waktu itu memang, pemimpin betul-betul nyata dan
fakta memiliki pengikut. Ada nyata dan faktual pemimpin dan ada nyata
serta faktual yang dipimpin. Tidak seperti sekarang, sudah sulit sekali
membedakan antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Upacara
kenegaraan berlangsung dengan penuh hikmat. Pidato camat didengar dan
disimak dengan tekun. Saat camat berpidato, keadaan sekitar lapangan
upacara senyap. Jarum yang jatuh pun, akan kedengaran. Sekarang, saya
membandingkan ketika seorang bupati pun berpidato, stafnya saja asyik
ngalor-ngidul entah membicarakan apa. Boleh jadi saat sang bupati
pidato, orang banyak memaki-makinya bahkan menghujat. Dulu memang, anak
negeri tak pernah tahu kalau bupatinya korupsi dan jahat. Sekarang,
anak-anak saja dengan enteng akan mengatakan : Bupati kami korup. Jahat.
Usai upacara kenegaraan, dilanjutkan dengan pagelaran atraksi dari
anak-anak sekolah. Ada 'tumba' yang sarat pesan-pesan mengajak semua
pihak untuk membangun dirinya, membangun kampungnya. Gerak dan langkah
mereka serempak dan seirama mengikuti alunan musik tradisional yang
dipalu secara langsung. Tidak menggunakan alat musik modren karena
memang tidak ada. Anak negeri pun ikut 'martumba' di tengah lapangan.
Semua bersuka ria merayakan Peringat HUT Proklamasi Republik Indonesia.
Lalu ada pembacaan puisi. Ada tablo atau fragmen kelas kampung. Ada
semacam drama atau sendra tari dari anak-anak SMA Negeri yang waktu itu
masih baru opersional. Digambarkan dalam sendra tari itu bagaimana
kemerdekaan direbut dan dipertahankan dengan harta bahkan dengan nyawa
oleh para pendahulu. Ada tragedi pilu, dan beberapa anak negeri sampai
meneteskan air mata. Kemerdekaan kita, memang tidak turun dari langit.
Kemerdekaan direbut dan dipertahankan dengan segala yang ada. Dan ketika
lagu 'Butet' mengalun secara manual dari mulut seorang putri anak SMA,
lapangan upacara pun bagai banjir air mata.
Acara masih
dilanjutkan dengan ragam perlombaan antar desa. Tarik tambang merupakan
acara yang sangat menarik. Kerja sama serta kesatupaduan sangat
dibutuhkan. Tidak cuma mengandalkan kekuatan semata. Warga desa yang
kuat saja kalau tak serempak dan seirama menarik tambang tak akan bisa
mengalahkan warga desa lain yang lebih lemah. Ada lomba makan kerupuk
yang harus menggunakan kiat-kiat tertentu. Lomba lari bawa guli dalam
sendok di mulut saja harus dilakukan dengan kiat-kiat tertentu. Tidak
bisa mengandalkan kemampuan berlari yang tangguh.
Senja hampir
diusir malam ketika anak negeri pulang ke desa masing-masing. Ada
wajah-wajah puas dan ceria tercermin. Langkah mereka tetap tegap dan
gagah untuk pulang dengan kembali berjalan kaki belasan kilometer. Tak
ada kecewa, tak ada wajah gelisah resah apalagi mendesah. Semua berubah
menjadi cerah. Dan esoknya tanah kembali diolah dan dijamah agar membawa
berkah.
Sekarang, saya merenung dalam-dalam. Perayaan HUT
Proklamasi tak lagi dilakukan dengan sepenuh hati. Mengibarkan bendera
Sang Saka Merah Putih saja tak lagi dilakukan dengan hikmat di halaman
rumah masing-masing. Sampai-sampai sekelompok Pemuda Pancasila di
Bengkulu menurut Metro TV yang saya saksikan tadi sore melakukan sweping
dan sedikit ribut dengan warga. Meski pun, seperti kata Ucha kawan
saya, peringatan HUT Proklamasi tahun ini yang kurang semarak boleh jadi
dipengaruhi bualan puasa.
Saya tak tahu apa persisnya mengapa
perayaan HUT Proklamasi belakangan tak lagi dirayakan di kampung-kampung
dengan semeriah pada masa lalu, pada suatu ketika. Boleh jadi karena
listrik sudah ada di nyaris semua kawasan, dan anak negeri sudah bisa
menyaksikan apa saja lewat layar kaca di rumah masing-masing. Upacara
HUT Proklamasi di Istana Negera di Jakarta saja pun sudah bisa
disaksikan secara langsung oleh anak negeri. Mereka juga tahu persis,
untuk merayakan HUT Proklamasi pihak Istana Kepresidenan mengeluarkan
uang sebesar Rp 7, 8 miliar.
Keterbukaan informasi juga
barangkali mempengaruhi kenapa perayaan HUT Proklamasi tak lagi
dirayakan anak negeri dengan gegap gempita. Mereka tahu sekali banyaknya
elite negeri ini yang jahat dan korup, bahkan tak memiliki itikad baik
saat menjadi pemimpin. Kalau pidato di depan publik, ngomongnya merdu
sekali, padahal anak negeri tahu suara para elite itu sebenarnya
paraunya bukan main. Orang-orang di pemerintahan, tak banyak lagi yang
pantas untuk dijadikann teladan. Mereka yang disebut pemimpin, acapkali
mengekspoloitasi kemiskinan rakyat yang dipimpimnya untuk memperkaya
dirinya sampai anak cucu tujuh turunan.
Listrik diiringi siaran
televisi serta surat kabar, ternyata sangat mempengaruhi banyak anak
negeri. Sistem informasi yang canggih zaman ini memang, membuat semuanya
menjadi gampang. Dunia pun, memang menjadi benar-benar cuma selebar
daun kelor. Apa yang diketahui orang Jakarta sekarang, juga diketahui
orang Parlilitan di kawasan Sionom Hudon sana dalam waktu bersamaan.
Belum lagi pengaruh internet yang justru didukung oleh pemerintah
penyebaran serta jaringannya hingga ke pelosok-pelosok.
Makanya,
sekiranya saya menjadi elite politik atau elite pemerintahan, saya harus
sadar sekali bahwa anak negeri di mana pun di bagian tanah air ini, tak
lagi seperti dulu. Mereka tak lagi nrimo, pasrah, lugu dan polos. Soal
skandal Bank Century saja sampai dugaan korupsi di Wisma Atlet serta
Kasus Hambalang, mereka sudah tahu koq. Termasuk tentang hakim tipikor
di Semarang yang sore tadi ditangkap KPK karena menerima suap.
Begitu pun, selamat HUT Proklamasi RI ke 67.
Dirgahayu Republik Indonesia !
No comments:
Post a Comment